Catatan Konser 14-15 Mei 2022: The Adams, Pure Saturday, dan Rumahsakit

Musik menjadi sarana saya untuk hidup lebih waras. Musik berkali-kali menyelamatkan jiwa saya dari rasa keterpurukkan dan kesedihan. Musik adalah candu yang legal dinikmati oleh siapa saja. Bersama musik, saya hidup. Dalam tulisan ini, saya ingin bercerita tentang beberapa band yang cukup sentimental bagi saya, yang setidaknya sebelum saya mati, saya ingin bertemu dengan band-band ini. Saya berdoa pada Tuhan untuk mempertemukan saya dengan mereka, dan Tuhan menjawab lunas doa saya. Saya bertemu dengan The Adams dan Pure Saturday di Lucy in The Sky (15/5/2022), ditambah nonton Rumahsakit sebanyak dua kali di Gen’s Bar Blok-M (20/3/2022) dan Antasore (14/5/2022). I Don’t Give A Fest (IDGAF) mengabulkan doa saya…

Jakarta, 14 Mei 2022

Rumahsakit

Hari Sabtu ini berjalan lumayan panjang. Usai bersih-bersih kos, saya berniat untuk berkunjung ke tempat tinggal saudara saya (cucu Bu Dhe dan anak Bu Dhe) di daerah Cengkareng. Saya berniat halal bi halal lebaran Idul Fitri. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari kos saya di Petojo. Saya berangkat siang dan sorenya akan saya lanjutkan pergi ke konser Rumahsakit dan Sajama Cut di Antasore Japanese Dining di daerah Cilandak. Open gate berlangsung pukul 17.00 WIB, namun saya pulang dari rumah saudara pukul 18.30-an, dan jarak antara Cengkareng ke Cilandak sekitar 24 kilometer, yang karena macet saya tempuh sekitar 40 menit. Saya tiba habis Isya pukul 19.20-an WIB.

Rumahsakit personil (Foto: IG @pohanpow)

Sampai di Antasore, saya pikir acara baru dimulai, ternyata saya salah. Saya kehilangan moment nonton konser Sajama Cut yang berlangsung sekitar dua jam yang lalu. Rasanya cukup sedih, dan ini jadi pelajaran berharga saat nonton gig di Jakarta, gak boleh telat. Apalagi besok pas The Adams dan Pure Saturday konser, demi apa pun saya gak boleh telat. Saya rela datang berjam-jam bahkan sebelum open gate dibuka.

Di Antasore, kafe bergaya ala Jepang ini cukup asyik buat acara gig yang berlangsung secara kecil dan intim. Ruangannya semi terbuka, kalau digambarkan, berluas persegi panjang yang tengahnya ruangan terbuka dan di sisi-sisinya ada meja dan kursi. Saat saya sampai sana, crew tengah setting alat; saya melihat Arief vokalis Rumahsakit berjalan di depan saya untuk mendatangi beberapa orang. Malam itu sebagaimana gayanya, dia mengenakan topi khas vakansi, semacam sweater polos campuran warna abu-abu featuring hijau tua, dan celana biru longgar.

Sementara itu, kira-kira 150-an anak muda usia 20 sampai 45 tahun atau para “pasien” menunggu sang bintang untuk tampil. Para penonton yang mayoritas anak-anak indie penyuka puisi, kafe, dan antimainstream ini datang dengan gaya mereka yang khas. Baik pria maupun wanita berbaju warna hitam, memakai pakaian merchandise, bersepatu Keds/Converse khas-khas old school style, sebagian berkacamata, memakai jam tangan, sambil beberapa orang di tangannya memegang gelas, botol, atau rokok.

Moment nonton Rumahsakit ini bukan pertama, tapi yang kedua. Kesempatan pertama saya saksikan di Gen’s Bar & Resto Blok-M akibat diberi rekomendasi lagu berjudul “Duniawi” oleh teman se-gank saya di pers mahasiswa dulu, anak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi bernama Archi. Saya kemudian kepo membaca sejarah Rumahsakit, diskografi mereka, proses kreatif, dan profil para personilnya baik di Google maupun Instagram. Pertalian pun bermunculan di kepala saya satu per satu, dari grup musik asal IKJ, satu generasi sama The Adams!, Naif, dan band-band indie Jakarta kala itu. Setelah mempelajari itu, saya pun bertekad harus nonton! Harga tiketnya saat itu 125 ribu.

Sebelum nonton, saya ada pertemuan dengan anak-anak alumni LPM Arena di kafe kecil Jakarta Selatan. Saya pun pamit lebih cepat untuk menuju Blok-M. Malam itu parkiran penuh, saya masuk dikasi gelang kertas warna hijau. Gelang ini saat sudah dikasi cap, bisa ditukarkan dengan soft drink atau bir. Sebagaimana vibes anak-anak indie, malam itu kebanyakan yang datang pria dan berpakaian hitam. Gen’s adalah kafe yang cukup eksklusif saya pikir, ruangannya dua lantai dan konser dilakukan di lantai satu secara tertutup. Band-band pembuka menampilkan karya-karya mereka. Salah satu yang saya ingat, konser ini konser lagu-lagu Britpop. Ada yang menyanyikan lagu-lagunya The Smiths, selebihnya saya tak ingat suara mereka lagi, tapi masih ingat perawakannya beberapa.

Akhirnya, sekitar pukul 21.00-an baru Rumahsakit tampil. Band ini memang punya segmen penggemar sendiri. Para personil kecuali vokalis menggunakan masker. Saat itu, karena dadakan, tak banyak lagu Rumahsakit yang berhasil saya hapalkan. Tapi ada beberapa lagu yang sangat saya suka: “Duniawi”, “Sandiwara Semu”, dan “Demi Hari”. Lagu pertama yang dinyanyikan seingat saya berbahasa Inggris, cuma saya lupa judulnya. Konser malam itu saya cukup menikmatinya, malam itu juga bertepatan dengan malam sebelum ulang tahun saya yang ke-29 tahun di esoknya. Rasanya senang banget, konser Rumahsakit ini seperti salah satu kado ulang tahun yang manis.

Moment yang paling saya resapi saat nonton Rumahsakit kala itu untuk pertama kali adalah ketika menyanyikan lagu “Duniawi”. Begitu lekat dan dekat. Setelah konser itu, setelah hari itu, saya mendengarkan dengan khusuk album Timeless dari Rumahsakit, album keempat mereka sejak band ini didirikan tahun 1994. Para personilnya: Muhammad Arief Bakrie (vokal), Mickey Nayoan (Kibord), Mark Ricardo Najoan (gitar), Fadly Wardhana (drum), dan Shendy Alam/Sadam (bass) dengan musik-musiknya gampang sekali saya ingat di telinga saya.

Konser Rumahsakit di Antasore (Foto: IG @rumahsakitband)

Hingga Sabtu, 14 Mei 2022, kami dipertemukan lagi di Antasore. Sabtu itu rasanya kami berjodoh. Pas nonton konser itu saya lumayan punya banyak amunisi lirik-lirik lagu Rumahsakit. Saya sudah siap untuk berjingkrak-jingkrak jika diperlukan dan berbahagia bersama para pasien yang lain. Malam itu mereka menyanyikan nomor-nomor: “3.56”, “Delightful”, “Sandiwara Semu”, “Sakit Sendiri”, “Panasea”, “Duniawi”, “Apa Yang Tak Bisa”, “Anomali”, “The Journey Starts Tonight”, “Kuning”, dan di akhir sesi “we want more” ditambah dengan lagu encore “Hilang”.

Malam itu saya seperti merasakan kebebasan-kebebasan yang lain. Suatu bentuk amor fati hidup yang barangkali langka saya dapatkan. Saya senang.

Jakarta, 15 Mei 2022

Saya pulang dari nonton Rumahsakit di Antasore sampai kos sekitar pukul 11-an malam. Semenjak konser saya WhatsApp-an dengan kawan saya Muja untuk janjian besoknya kondangan pernikahan Mas Robi dan Mbak Amel di Babelan, Bekasi. Rombongan rencana akan berangkat pukul lima subuh, sehingga jam 4 dini hari saya segera mandi, kemudian berangkat ke kontrakan Mas Robi di daerah Duren Sawit. Di sana ketemu Mas Folly dan Mas Juju, serta pengantin dan keluarga Mas Robi. Lalu sekitar pukul enam pagi, teman-teman Arena yang lain berdatangan: Aul, Dina, Firdan, Sidra, Hedi, dlsb. Kondangan sampai siang, dan sorenya saya sangat excited untuk datang ke konser The Adams dan Pure Saturday!!!!!

Kedua band ini saya kenal dari karya-karya dan lagu-lagu mereka, bahkan awalnya personilnya saja saya ada yang tak tahu namanya, hahaha. Saya sering membuka konser kedua band ini di Youtube, konser yang rata-rata berlangsung secara intim dengan dihadiri para fans loyalnya.

Oiya, sebelum ke inti konser, sore itu cuaca mendung. Saya berangkat dari kos pukul setengah empatan dan pas di jalan kena hujan. Saya berhenti sejenak mengenakan mantel. Sampai di Lucy in The Sky, SCBD, sekitar pukul empat lebih sedikit. Sampai sana ternyata para penonton sudah banya yang mengantri. Saya ingin melakukan kritik untuk penyelenggara acara. Entah apa sebab panitia konser The Adams dan Pure Saturday ini melakukan penjualan tiket secara on the spot. Setidaknya ada beberapa kelemahan dari model OTS kala itu yang saya amati: (1) Pemborosan waktu dan tempat. (2) Penonton menunggu lama dan disiksa berdiri berjam-jam. (3) Bagi mereka yang kehabisan tempat akan datang dengan kecewa, padahal semua tahu jika kedua band ini sama-sama memiliki fans loyal, mau hujan dan berbagai cobaan apa pun akan dilakukan untuk bisa nonton. Akhirnya yang tak kedapatan tiket pun ber-gig ria di lapangan-lapangan injury time dari lokasi. Di Instagram saya sempat membaca postingan ada penonton yang kesal dan bilang, anak sekolah aja lebih baik manajemen karcisnya daripada ini. (4) Rata-rata penonton konser ini adalah generasi 80-an dan 90-an yang kalau dihitung usianya rata-rata 30-an tahun, untuk berdiri menunggu lama sungguh nguras energi dan psikologi, karena nunggunya gak cuman di konser, tapi juga di dalam Lucy in The Sky ketika sudah dapat tiket.

Pure Saturday

Ingat Pure Saturday (baca: pyuur saterdei), saya selalu ingat dengan orang yang pernah saya cintai dengan sangat lama dalam hidup saya. Orang inilah yang mengenalkan saya dengan lagu-lagu Pure Saturday untuk pertama kali. Kedengarannya sangat melankolis, ya, memang—bahkan saya mengenang dan menulis ini sambil menangis. Pure Saturday bagi saya tak sekadar band, tapi juga kenangan yang cukup dalam—sedalam kenangan bersama dengan Sisir Tanah, Pink Floyd, dan Radiohead.

Pure Saturday usai menyanyikan lagu terakhir di konser di Lucy in The Sky (Foto: IG @puresaturdaybdg)

Jujur saya tak kenal dengan siapa saja personil-personil dari Pure Saturday. Bahkan saya baru mencari tahu nama vokalisnya setelah konser hari Minggu ini, saya baru tahu kalau vokalisnya bernama Iyo atau Satria Nur Bambang yang juga pendiri majalah musik independen bernama Ripple Magazine (1999)—yang mengulas subkultur kreatif, produk jenama lokal, budaya skateboard, dll. Saya juga baru mengenal dengan personil lainnya yang terdiri dari: Ade Purnama (bass), Arief Hamdani (gitar), dan serta personil tambahan lain, @ezzarush (gitar) dan Sony Mulyana (drum). Sejarah lengkap mereka bisa dibaca di buku Idhar Resmadi berjudul “Pure Saturday: based on a true story” (2013), yang sialnya belum sempat saya baca.

Malam itu semua personil Pure Saturday berdandan casual, berbeda dengan dandanan teatrikal yang saya baca di sebuah tulisan review konser tertanggal 15 Mei 2012. Pak Iyo malam itu manggung dengan kaos putih, topi hitam khas, dan tamborinnya. Bung Arief, Bung Ade, Bung @ezzarush, dan Bung Sony kompak pakai hitam-hitam. Saat Bung Iyo melakukan interaksi dengan penonton, salah seorang penonton di belakang saya berteriak: “Jangan nyanyi lagu di album baru, belum hapal!” Ya, ya, saya mengerti kegelisahan Pure People cabang Kalideres (bukan asal sesungguhnya) itu. Dan akhirnya Pure Saturday menyanyikan banyak lagu, yang berhasil saya catat: Sesi pertama dengan “Later”, “Coklat”, “Silence”; sesi dua dengan “Gala”, “Pathetic Waltz”, “Bangku Taman”; sesi tiga dengan “Spoken”, “Pagi”, “Kosong”, “Desire”; serta ditutup dengan encore “Elora” dan “Buka”. Konser PS selesai pukul 21.41 WIB.

Bernyanyi bersama Pure Saturday (Foto: IG @puresaturdaybdg)

Saya senang lagu-lagu kesukaan saya dinyanyikan semuanya malam itu. Tiga lagu paling personal buat saya: “Elora”, “Bangku Taman”, dan “Kosong”.

Terkait lagu Elora, selain lagu itu pernah menjadi nama untuk pseudoname saya beberapa kali, saya juga menggunakan lagu itu untuk terapi. Ceritanya, pas di Jogja dulu saya pernah datang ke psikolog di daerah Godean. Di sesi ketiga kalau tidak salah, si psikolognya bilang, saya bisa menjadikan “lagu” untuk healing saya. Jadi kalau misal saya sedang stress, sedih, depresi, saya bisa dengerin lagu itu biar balik ke kondisi default normal dan tambah semangat lagi. Nah, pertama, saya pilih lagu Nasrani judulnya “One of Us” dari Joan Osborne. Namun karena psikolognya sangat Islami bagi saya yang abangan, dia bilang itu di liriknya ada kata “Yesus” baiknya diganti jadi Allah agar sesuai dengan syariat. Yah, saya paham arahan-arahan itu, akhirnya saya memberinya judul lagu lain: Elora. Setelah psikolog itu denger lagu itu, dia bilang liriknya bagus dan dia setuju lagu itu bisa jadi penawar saya. Namun jujur, lagu Elora ini memang keren banget sih. Ngajarin saya banget buat ikhlas, buat gak megang sesuatu terlalu erat, dan menjadikan kehilangan sebagai sesuatu yang “ya sudahlah” gitu. Gak perlulah menginginkan hal-hal lebih lain dari apa yang Tuhan dan manusia lain berikan untuk kita.

Lagu berikutnya yang berarti bagi saya berjudul “Bangku Taman”, lagu ini bahkan jadi lagu yang paling banyak saya dengar sepanjang tahun 2021 di Spotify. Ini tercatat di tulisan LPJ hidup saya tahun 2021. Lagu ini itu sederhana, ringan, tapi gak dangkal. Saya melihat panorama keseharian yang begitu lekat terkait bangku, taman, siang, udara, panas, peluh, luka, ya ampuuun, ini realistis sekali. Lagu ini enak banget buat didengerin sambil eargasm di tempat yang sepi dan sendiri. Latar belakang lain kenapa saya suka lagu ini juga karena mengingatkan saya dengan si A (inisial tidak sebenarnya), salah satu orang yang banyak mempengaruhi selera musik saya. Saya pernah suka pada si A, dia pernah muter lagu ini, dan dari A juga saya kenal dengan Pure Saturday.

Kemudian lagu berjudul “Kosong” tak kalah berkesan juga. Lagu ini nemeni saya pas bantu-bantu jadi peneliti lapangan LP3ES terkait Antropologi digital di beberapa kota di Jawa. Nemeni saya dari perjalanan ke perjalanan nemuin dan wawancara narasumber satu ke narasumber lain. Lagu ini semacam mau bilang: dalam situasi se-dark apa pun, lu masih punya tekad buat bebas. Bahkan usaha lu terlalu pagi buat menemukan diri lu sendiri. Perjalanan makin panjang dan semakin lapang, asal lu peduli dengan apa yang terjadi. Vibes lagu “Kosong” ini tuh temenan sama lagu berjudul sama “Kosong” karya Monty Tiwa.

“Pernahkah kau merasa… Tidak pernah merasa… sepi. Pernahkah kau merasa… Tidak pernah merasa… sunyi. Aku tak pernah. Aku selalu merasakannya. Kosong… Kosong…”

The Adams

Mengingat kembali, kapan pertama kali saya benar-benar mengenal The Adams (baca: dhi eidems)? Mengenal dalam artian saya menggeluti karya-karya mereka, bukan konsep (mengutip Ugoran Prasad Melancholic Bitch) “fans menjijikkan” yang mengelu-elukan dengan buta. Saya mendalami The Adams seingat saya belum lama ini, pertengahan tahun 2021 lalu. Cukup singkat, dan dari kesingkatan itu saya hampir menghafal semua lagu yang ada di album Atgerplaas. Saat itu bahkan saya tidak tahu atau berusaha mencari tahu nama-nama personil The Adams. Belakangan saya tahu para personilnya yang firm saat ini terdiri dari: Saleh Husein (vokal, gitar), Gigih Suryo Prayogo (drum), Pandu Fathoni (vokal, bass), Ario Hendarwan (vokal, gitar), dan Ghina Salsabila (kibord).

The Adams kompakan dulu ye (Foto: IG @theadamsband)

Setelah Pure Saturday tampil, muncullah yang saya tunggu-tunggu lagi, The Adams. Malam itu saya berdiri di posisi yang saya kira tepat, di paling depan, bisa melihat dengan jelas, dan di depanku langsung Bang Ale. Waktu itu Bang Ale pakai kaos warna putih, Bang Pandu pakai kaos warna hijau (ehm, kelihatan lebih seger dan tambah muda Om btw), Bang Ario pakai kaos warna pink featuring maroon gitu, Bang Gigih pakai kaos warna hitam, dan Ghina pakai kaos warna putih dengan rok corak 3/4 warna hitam. Di awal-awal konser radha ada gangguan mik, saya dan penonton lain kayaknya cukup panik dengan kondisi itu. Setelah tas-tes-tas-tes, lagu “Pelantur” menghentak kami. Lagu yang mengkritisi terkait budaya ngopa-ngopi nongkrong gak jelas ini liriknya pernah saya jadikan sebagai penutup tulisan terkait fenomena silent reader di internet. Lagu ini tepat dinyanyikan karena “Pelantur” sangat energik bagi para Anak Adam—nama atau sebutan yang disematkan bagi para fans The Adams—yang rindu konser setelah fase kurungan tanpa penjara Covid-19 selama dua tahunan. Di lagu pembuka ini penonton berjingkrak-jingkrak, meski sayangnya tak bisa bebas karena faktor ruangan yang sempit tak sebanding dengan jumlah dan antusiasme penonton.

Lagu kedua yang dinyanyikan berjudul “Waiting”, lagu ini jadi anthem The Adams di awal-awal kemunculan mereka. Dilanjutkan dengan nomor lagu ketiga, “Kau Di Sana”, sebagai orang yang kenal The Adams kurang dari 4 semester, lagu ini tidak terlalu familiar di telinga saya. Baru lagu keempat “Esok” menggetarkan saya. Lagu inilah yang menumbuhkan rasa optimis saya ketika awal-awal datang ke Jakarta, lagu ini serupa masa depan yang indah, bahwa kabar gembira akan datang. Tak kalah merinding juga di lagu kelima yang dibawakan berjudul “Gelap Malam”, sangat cocok menemanimu bergadang. Dan setelah “Gelap Malam”, The Adams mengajak para Anak Adam untuk “Berwisata” keliling Kota Jakarta menggunakan TransJakarta dan berhenti di Kota Tua. Nostalgia saya akan Kota Tua dan kenangannya kemudian menyeruak tanpa ampun.

Lagu ketujuh penonton disuguhi tembang “Hanya Kau”, lagu yang didedikasikan khusus untuk kibordis The Adams dulu yang sudah wafat. Dilanjutkan dengan lagu kedelapan berjudul “Masa-Masa” yang mengingatkanmu dengan orang-orang masa lalu yang kini entah di mana. Kawan-kawan yang kita jumpai kala SD, SMP, SMA, atau rekan-rekan kerja, atau para sejawat yang akrab dengan kita. Bersama mereka kita melewati hari yang indah. Tentu, dua lagu penutup terakhir benar-benar saya tunggu “Timur” dan “Konservatif”. Pecah! Shoegaze mana lagi yang kau dustakan, Is? Wkwk.

Jos (Foto: IG @theadamsband)

Sejujurnya, pertama saya kenal The Adams adalah dari lagu berjudul “Timur”. Lagu ini ternyata diciptakan oleh Ario ketika melihat anak pertamanya terlelap. Benar-benar moment yang begitu puitis antara orangtua dan anak, sweet banget sih saya bayanginnya. Dan ini juga yang menjadi benang merah kenapa saya suka dengan The Adams: lagu-lagu The Adams semarak dengan warna-warni interaksi antarmanusia yang menarik untuk disimak. Dari lagu “Timur” saja semisal, saya bisa menangkap semesta hubungan kasih yang dalam, dan tentu saja, realistis.

Namun tiap kudengar namamu… Makin terbayang masa depanku… Semakin jelas tujuan dan yang kuharus lakukan… Saat aku dan kamu bicara, tentang harapan dan cita-cita… Semua yang kita damba akan terasa seperti amat nyata….

Selain realistis, “Timur” juga universal. Dari lagu itu, yang saya sering dengar di kos Jalan Pandega Rini Jogja dulu hampir tiap hari, mulai deh saya mendengarkan lagu-lagu The Adams yang lain. Tak hanya agama dan uang yang candu, musik The Adams juga candu. Saya mengkonsumsi candu The Adams tanpa takut dipenjara.

Saya pernah suatu hari berselancar di Google terkait sejarah The Adams yang berawal dari grup musik IKJ. Mereka beberapa kali ganti personil, yang sialnya gonta-ganti personil ini juga terjadi pada Pure Saturday dan Rumahsakit. Saya jadi ingat pemeo: Kalau band terdiri dari orang-orang cerdas biasanya egonya akan tinggi, sehingga rentan untuk bubar. Entahlah, apakah pemeo ini berlaku juga untuk mereka? Yang pasti, tanpa mengeliminasi sejarah masa lalu mereka, dalam bahasan ini saya akan lebih fokus pada formasi mereka sekarang. Jikalau di kemudian hari mereka akan ganti personil lagi—atau barangkali bubar, meski itu tak saya harapkan—saya membiarkan hukum alam yang menyimpan jawabannya.

Hal yang berkesan lagi tentang The Adams—sebelum saya tahu nama personil-personilnya—tak menyangka hari ulang tahun saya dan Mas Saleh sama—ini saya ketahui pas FP IG @theadamsband mengunggah Hari Ulang Tahun Bang Ale. Waktu itu saya memberikan komentar di unggahan IG The Adams itu, dan dibalas sama Bang Ale: “equinoxian HBD✨👏🏾👏🏾” Setelah saya cari-cari, ternyata equinoxian artinya moment ketika matahari ada di atas garis khatulistiwa. Yap, awal kelahiran Ariens, yang mana ditandai dengan panjang durasi siang-malam di seluruh dunia sama. Equinox pada 21 Maret disebut vernal equinox (musim semi) di bagian utara bumi dan autumnal equinox (musim gugur) di bagian selatan. Lalu equinoxian adalah orang-orang yang lahir pada moment itu. Ada juga yang mendefinisikan: Equinoxian, also known as equinian, is a non-binary gender from the galactian alignment system. It is the demigender version of nebularian/stellunarian meaning it has a partial connection to lunarian, a partial connection to stellarian, and partial connection to something else.”

Kalau saya tahu ada orang lain yang punya tanggal lahir yang sama itu rasanya ingin bilang ke dia, “You, gaes, we are in the same universe!” Itu juga yang saya rasakan pas tahu kalau tanggal lahir saya dan filsuf sinting Slavoj Zizek, novelis Jepang Kaori Ekuni, komposer JS Bach, punya tanggal lahir yang sama. Karena tanggal lahir yang sama itu bisa berarti punya zodiak yang sama, ada di dunia rasi yang sama, dan berbagai kesamaan lain. Ya, meski nasib berbeda karena kita dilahirkan pada tahun, jam, dan tempat yang berbeda.

Bang Ale, Ale, Ale (Foto: IG @aleantipony)

Bang Ale ini cukup spesial karakternya di antara personil The Adams yang lain. Raka Ibrahim pernah menulis Bang Ale ini orang yang suka membual, haha, iya, kelihatan. Bukan membual sih tepatnya, tapi semacam kocak gitu orangnya. Tipe-tipe orang kayak Bang Ale ini bisa menghidupkan suasana karena pembawaannya yang kek Nabi saat di panggung, siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Di WhatsApp kawan dekat saya kira-kira pernah bilang: “Kalau ada jin ngasih permintaan, kasih aku satu yang kayak Aleee, barang langka cuk, hahaha.” Bang Ale ini juga serba bisa, baca profilnya sekilas, ternyata dia juga seniman seni rupa (seangkatan sama Mas Irwan Ahmett dan Cecil Mariani kali ya di IKJ, guru-guru saya).

Oiya, kalau ada istilah “signature sound” The Adams memang band yang paham betul arah kreatifnya sendiri. Liriknya cerita-cerita yang banyak orang lewati. Lagu “Konservatif” yang gak tahu di mana letak konservatifnya. Apakah kisah ngapel baik-baik itu disebut konservatif? Atau lagu “Timur” yang memang tak menjanjikan surga atau kebahagiaan sebagaimana cercauan gombal, tapi kejujuran arah dari sebuah nama itu benar-benar personal.

Suatu hari pula saya pernah menulis status WhatsApp saat berada di dalam kereta dari Jakarta ke Jogja: “Selama beberapa bulan playlist lagu The Adams yang nemeni saya, makasi The Adams…..”. Dan di antara sayup-sayup lamunan tidak jelas kadang terpikir: “Pengen nikah sama fansnya The Adams atau pendengar lagu The Adams yang baik.” Kenapa? Sebab lagu-lagu The Adams bisa ngertiin saya dengan baik. The Adams juga adalah rangkuman hal-hal baik tentang Jakarta, tempat saya tumbuh sekarang.

Penutup

Ada pendewasaan yang saya rasakan dan saya sadari akhir-akhir ini setelah menonton konser The Adams, Pure Saturday, dan Rumahsakit. Pertama, saya tak se-alay dulu, hahahahaha. Duh, puas saya tertawa. Dalam artian gini, kalau saya ngefans sama sesuatu, dulu itu saya akan mulai dari orangnya, sosoknya, di The Adams, Pure Saturday, hingga Rumahsakit ini enggak, saya ngefans ini karena karya-karya mereka. Saya tak terlalu menggebu-gebu untuk tahu tetek bengek personilnya begini dan begitu, dengan drama begini dan begitu, tapi cukup simpel kamu suka dan sering menikmati karya mereka. Kalau dibilang beririsan sama meritrokasi sistem barangkali iya. Kedua, dulu biasanya sehabis lihat konser terbesit pikiran saya untuk minta foto atau minimal minta tanda tangan, dan kali ini entah kenapa gak pengen, bahkan gak kepikiran sama sekali. Selesai, bahagia, dan pulang. Sudah. Ini cukup aneh dan berkembang kalau saya renungkan lagi. Ketiga, saya jadi lebih paham musisi mana-mana saja yang harus saya tonton dan tidak menurut preferensi saya. Dan ini cukup untuk membuka diri dengan musik dan musisi baik lainnya….

Sekali lagi, terima kasih untuk The Adams, Pure Saturday, dan Rumahsakit. Sukses terus untuk kalian semua.

Petojo, Jakarta, 21 Mei 2022

Isma Swastiningrum

@ideopraksis

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai