Perjalanan Patah Hati ke Bogor

Lama saya tak jalan-jalan ke Bogor dengan perasaan yang bebas. Kemarin hari Minggu, 7 Agustus 2022, bisa saya wujudkan usai menghadiri pernikahan kolega kerja Rangga-Rara di Gedung Braja Mustika Bogor. Sebuah pernikahan yang mewah, rangkaian bunga dari para pejabat berjajar dari pagar gedung sampai ujung; dekorasi yang cantik; dan yang paling saya sukai keluarga besar yang tampak kompak memakai pakaian warna hijau mint.

Rangga-Rara know how to ngumpulke balung pisah in The Big Family.

Saya datang ke pernikahan itu sendiri dari Stasiun Juanda ke Stasiun Bogor. Lima hari yang lalu saya patah hati untuk kesekian kalinya karena ditolak rasa suka dan perasaan yang barangkali saya rasakan pada seseorang. Apa saya agresif bilang suka terlebih dulu? Saya pikir tidak, saya jujur, saya pede, dan saya tak mengemis untuk dibalas perasaannya juga. Apa pun respons dan jawaban saya terima dengan fair. Dengan begitu, saya akan lebih tahu arti ujian dan batasan juga.

Usai penolakan ini, yang tentu saja bohong kalau saya bilang saya tak sakit, saya jadi kuat. Lagu “Terlatih Patah Hati” dari The Rain dan Endank Soekamti tentu saya dengarkan. Meski mengalami cedera hati yang tidak begitu serius–because I have felt no hard feeling–saya jadi lebih tegas dengan “keakuan” dan “keinginan” saya sendiri, yang demi apa pun ingin saya kikis sehingga terbebas dari derita. Begitu wejangan mulia Buddha yang coba saya ikuti.

Pohon bodhi perlambang damai

Sekitar beberapa bulan ini, saya dekat dengan dua laki-laki. Keduanya tinggal di Bogor. Pertama, dengan orang yang menolak saya dengan halus ini karena dia bilang sedang tak ingin menjalin hubungan. Kami bertemu waktu di Jogja. Dia adalah tipe pria yang suka melempar gurauan, membuat orang tertawa, suka baca buku, rajin menulis kalau mood, suka dengan kegiatan organisasi dan bermasyarakat, supel, gampang bergaul, punya cita-cita yang tak cuma untuk diri sendiri (buat web untuk mencerdaskan orang misal), dan punya semangat belajar yang tinggi. Anaknya juga logis, tak percaya tahayul yang di luar logika, dan mencintai puisi, sastra.

Kami dekat karena selama kepindahannya ke Bogor dan Jakarta, kami sempat beberapa kali hang out bersama. Kegiatan bersama dia juga adalah hobi saya, berkaitan dengan membaca, berpetualangan di kota, berjalan, bercerita, dll. Saya merasa, bersamanya saya bebas berkisah apa saja tanpa takut begini dan begitu. Di satu titik saya ada di tahap, saya mempercayainya untuk semua cerita-cerita menarik yang cenderung saya pendam sendiri. Dia juga tidak pernah menghakimi saya dengan semua yang saya lontarkan.

Bagi saya, dia salah satu orang yang menyenangkan untuk berteman. Kalau kau pernah nonton serial Bojack Horseman di Netflix, karakter dan fisiknya barangkali agak mirip dengan karakter Mr. Peanutbutter. Dia orang yang energik, baik, membawa keceriaan, optimis, profesional, jarang marah, dan membawa hawa positif untuk orang-orang di sekitarnya. Namun terkadang, kalau karakternya di-zoom lebih dekat, saya bisa merasakan dia terkadang juga merasa kosong, sendirian, dan sepi. Tapi entahlah, ini analisis pribadi saja.

Kalimat penolakan dia di WA berbunyi seperti ini:

Dia: To be honest, i felt the same thing like you. But, you know it seems like i told you for the last time. That i’m not ready yet to make some relationship or engage with anyone. So hard away for me. And i hope we still together mba.

Saya: Okee, haha

Dia: Are you ok mba?

Saya: Ya, sante aja Mas

Kalimatnya sangat halus dan seolah tak ingin menyakiti, tapi sehalus apa pun, pesan utama akan tersampaikan. Sementara saya yang dari permukaan bilang “santai” rasanya ingin lari dan menghilang seperti lagu “Rosario” dari Astroneko. Suatu malam saya pernah bermimpi, saya berada di dekat dia dan rasanya sangat aman, nyaman. Jika mendengarkan lagu-lagu Glenn Fredly, otomatis juga saya akan mengingatnya–kami pernah pergi bersama ke makam Glenn dan asal daerah dia sama dengan Glenn berasal. Saya berimajinasi jauh, lagu Glenn yang “Romansa ke Masa Depan” (yang dia setel sore itu) akan menemani perjalanan kami selanjutnya, usai ini, saya takut berimajinasi lagi terhadap apa pun yang berkaitan dengan perasaan.

Beberapa tempat di Jakarta akan selalu mengingatkan saya tentangnya tentu, selain lagu-lagu dan buku-buku. Jakarta menjelma roll film dan lampu-lampu di jalan beralih layar kaca kenangan. Kembali ke kenyataan akan lebih baik.

Jalan menuju pulang

Pria kedua yang saya sempat dekat juga berasal dari Bogor. Kalau ini asli Bogor, meski masa kecilnya pernah di AS dan kuliah di Malaysia. Kami berkenalan di aplikasi kencan, dan dua kali kami bertemu, eh, tiga kali, terakhir saat tak sengaja berjumpa dengannya di GBK saat saya nonton konser Guiness Smooth yang menghadirkan The Adams dkk, tapi saya tak menyapanya. Waktu itu saya melihatnya bekerja, dan saya senang melihat seseorang yang bekerja dengan perasaan dan ketulusan.

Kami mengobrol via chat banyaaak sekali, dari hobi otomotif dia soal balapan F1 sampai saya paham rahasia-rahasia terdalam dia yang rasanya tak mungkin dia bagikan dengan orang lain meski itu mamahnya sendiri. Suatu hari obrolan kami:

Saya: Kalau aku gpp sih, itu valid, nangis dan lemah itu gak mandang gender.

Dia: Dari semua cewek yg aku deket 2 doang yg mau denger, kamu nomor 2. Ibu sendiri aja gak termasuk di list itu

Kata-kata yang tentu akan membuatmu merasa spesial bukan? Namun, saya sadar, dia sebagai anak ENFP dan Sagitarius, menarik pagar yang tak kasat mata pada orang lain. Pagar itulah yang nampak di saya sebagai anak INTJ dan Aries. Meski ENFP-INTJ dan Sagitarius-Aries diramalkan memiliki kecocokan yang sangat tinggi, pseudosains MBTI dan zodiak tak akan mampu menentukan arah hidup manusia. Berkat dia, saya pernah berhenti untuk menyambung-nyambungkan nasib dengan ramalan-ramalan. Hingga detik ini, usai hubungan kami renggang, dan saya tahu saya harus menarik diri karena pagar yang dia buat semakin tinggi, saya pun perlahan pergi.

Jika saya gambarkan sosoknya, dia adalah manusia yang cerdas tanpa dia harus berusaha banyak untuk menjadi cerdas. Barangkali bakat ilmiah yang diberikan Tuhan ke dia adalah soal kecerdasannya. Meski begitu, dia juga mengalami impostor syndrome. Entah kenapa, dari cerita-ceritanya itu saya rasakan begitu kuat. Pas kami bertemu pertama kali, dia juga merasakan tekanan batin tertentu saat kecil. Yang tak saya lupakan juga, entah mengapa, saya merasa dekat dengan Mamahnya. Mungkin karena asal Mamah dia sama dengan asal Bapak saya. Saya dan Mamah dia juga sempat tukar-tukaran kado. Saya juga senang titip salam sama Mamah dia, yang entah mengapa pengen saya anggap juga seperti Mamah saya sendiri.

Terkait hubungan, saya sadar, dia pernah dikecewakan begitu dalam oleh perempuan. Kami pernah berada di situasi yang tidak nyaman saat membicarakan ini, dia sempat bilang tak ingin menikah, tak ingin terikat komitmen, tak ingin menjalin hubungan lagi. Dia juga mengaku sudah mati rasa. Saya sadar, pernyataan dia ini juga adalah pagar dia, pagar dia yang dia taruh pada saya. Sejauh apa pun nanti saya mencoba dan aktif mendekatinya, saya tahu, usaha saya tak akan mampu untuk memasuki pagar itu jika tak ada persetujuan darinya. Dan saya sudah memutuskan, saya tak akan sekeras dan memaksa itu dalam menjalin hubungan. Mimpi saya hanya ingin menjalin hubungan yang setara, jika tidak, saya harus sadar diri.

Jika laki-laki pertama saya sandingkan dengan Mr. Peanutbutter, maka laki-laki ini saya sandingkan dengan Bojack Horseman sendiri. Maaf ini ugal-ugalan buat persamaannya (keduanya boleh protes). Saya pernah bilang ke dia saat awal-awal nonton Bojack, kalau dia karakternya mirip Bojack. Dia tertawa. Setelah saya nonton Bojack hingga episode terakhir, ternyata Bojack jauh lebih kompleks. Haha, begitu juga Mr. Peanutbutter. Ya sudah, bukan di situ intinya.

Sebut saja, mereka berdua adalah Mr. Peanutbutter dan Bojack. Keduanya sama-sama tinggal di Bogor dan kemarin saya main ke Bogor.

Sendiri, mirip kucing yang duduk di depan rumah lawas itu

Di Bogor saya berkunjung ke Devoyage, sebuah tempat pariwisata dengan menghadirkan beberapa landmark khas Eropa. Sebenarnya tak begitu jelas juga mengapa saya main ke sini. Saya hanya searching dan mendapat rekomendasi ini. Di sini sangat warna-warni nuansanya, haha, meski perasaan saya sedang abu-abu, BW.

Tempat ini mengingatkan saya dengan Museum Angkut di Malang. Namun, saya merasa lebih kosong perasaan saya di sini, rasa sedih saya bertambah, semacam pudarnya warna-warna cat di berbagai rumah khas Scandinavia di sana. Banyak tempat-tempat ala Eropa, seperti: Eiffel Tower, Manneken Pis, Cinque Terre, Menara Pisa, Brandenburg Gate Berlin Gate (poster), dll. Hal lain yang saya ingat di Devoyage, saat dipotret sama penjaga di sana, dia bilang, “Mbak, lebih ceria lagi.” Haha, ya Tuhan apa saya sesedih itu.

Gugur dan semi bersatu
Belanda
Rumah paling horor di Devoyage
Pengen ke sini suatu saat nanti
Son and Grandfther
Cheerful Colour
Paris pun penuh marabahaya
Dan duka nestapa

Kemudian saya berkunjung ke Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) Bogor. Di tempat inilah justru saya merasa hidup. Saya bertemu dengan para kongco di sana dari: 1. Thi Kong, 2. Hok Tek Tjeng Sin (Twa Pekong), 3. Kwan She Im Pho Sat, 4. Kwan Sheng Tee Kun (Kwan Kong), 5. Kong Tek Tjhun Ong (Sheng Ong Kong), 6. Hou Ciong Kun, 7. Eyang Raden Suryakencana Winata Mangkubumi, 8. Tee Tjong Ong Po Sat, 9. Para Leluhur.

Kongco
Dewi Kwan Im
Amitābha

Berikutnya, tempat yang membuat saya senang adalah sepanjang Jalan Surya Kencana Bogor. Di sini saya benar-benar merasakan kehidupan dan kebebasan saya. Saya sangat merasa hidup melihat orang-orang berkegiatan di sana, jalan yang sangat ramai dan begitu hidup. Jalan ini mirip dengan Jalan Malioboro di Jogja, dipenuhi makanan khas Bogor. Benar kata abang gojek yang saya temui saat ke Devoyage, Bogor lebih terkenal dengan makanannya daripada tempat wisatanya.

Di sepanjang Jalan Surya Kencana, makanan khas yang saya jumpai seperti: laksa, es bir kotjok, cungkring, soto mie, koboy talas, es cincau kelapa muda, pentol bontot, gulali, uli bakar, pempek jebus, bakso bening, soto kuning, toge goreng, lonsay, kue tetek, cakwe, bapau, nasi timbel, siomay, asinan, dlsb. Dan oh Tuhan, saya begitu menginginkan laksa tapi warungnya tutup dan akhirnya puas dengan menikmati soto kuning. Soto daging dan jeroan sapi dengan kuah berwarna kuning.

Kuppic Gelato
Soto Kuning Bogor

Di Jalan Surya Kencana, akulturasi dan toleransi antar umat beragama sangat terasa. Arsitektur-arsitektur sepanjang jalan juga sangat asyik untuk dinikmati. Saya juga membeli tiga baju thrifting untuk adik dengan harga murah, juga beli buku tulis BigBoss favorit saya.

Ya, cukup di sini perjalanan patah hati saya kali ini. Perjalanan ini semoga tidak sekadar menutupi derita saja, tapi juga mengobati derita.

Jakarta Pusat, 8 Agustus 2022

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai