Bunga Salju di Papua

Mobil Grab itu melaju di atas jalanan Jakarta Pusat yang halus. Aku berada di dalamnya bersama tiga orang kawan menuju Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan jam 00.05 malam, Senin dini hari, kami akan dinas ke Papua Selatan, provinsi baru di Papua. Tulisan ini bukanlah tentang pekerjaan, tapi terkait perjalanan rasa yang kualami seminggu ini.

Malam keberangkatan ke Papua itu dadaku terasa sesak. Kudengarkan lagu “Yuki no Hana” dari Mika Nakashima berulang kali tak bosan-bosan tak henti-henti. Aku membayangkan Jakarta malam itu telah menjadi Jepang, pohon-pohon berganti jadi sakura dan gedung-gedung seperti pusat kota Tokyo. Mataku berkunang mengenang seseorang.

Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, aku paling lemah jika bertemu dengan seseorang yang bisa memasuki ruang terdalam diri dan hatiku. Pengalaman-pengalaman bertemu dengan orang-orang ini memang bukan yang pertama, tapi selalu ada hal-hal terdalam yang bisa kupetik meski akhirnya berakhir dengan menyedihkan, selalu, menyedihkan. Sampai aku menganggap kesedihan sebagai bagian yang erat dalam hidupku.

Sekitar tiga hari yang lalu aku bertemu orang tersebut, tiga hari kami saling bertelepon kadang dari malam ketemu pagi. Dia adalah seorang pria yang memiliki segudang cerita, dan aku hanya gadis kaku, serius, pendiam, nan membosankan yang antusias mendengar kisah-kisahnya.

Namanya, biarlah kusebut dia Yuki no Hana, sebagaimana salah satu lagu kesukaannya. Dia berasal dari Cimahi, Jawa Barat, lulusan Sastra Jepang di salah satu kampus di Bandung dan semasa mahasiswa aktif di perkumpulan kampus. Dia seingatku kelahiran 1988, orang Sunda, usianya 34 tahun, lima tahun di atasku, tinggi 178 cm, dan punya pita suara agak mirip dengan Bebi Romeo, penyanyi lagu “Bunga Terakhir”. Dan berzodiak Scorpio, zodiak yang paling aku mengerti dan mereka juga mengertiku setelah Virgo (zodiak sahabat-sahabat terbaikku). Aku tak meragukan loyalitas Scorpio atau kemarahan terbesar mereka saat dikhianati.

Kami belum pernah bertemu, tapi dari obrolan kami, aku akan mengatakan, dia tipe orang yang bisa membuatmu betah ada di sampingnya. Dia punya imajinasi original yang menarik untuk diikuti dari cerita-cerita dalam buku atau gambar-gambarnya. Dia tak tertarik melihat karya orang lain, karena menurutnya karyanya sendiri harus lebih dihargai. Dia juga orang yang easy going, kalau mau dijalanin ya ayo, kalau enggak, ya sudah.

Dan, dia punya berton-ton cerita horor untuk diceritakan sejak dia kecil hingga sekarang. Cerita-cerita horor itu secara “live” dia ceritakan padaku, di media yang lain, dia juga berkolaborasi dengan temannya membuat Podcast yang berisi cerita-cerita horor. Horor yang dia maksud bukan horor ala hantu per se, tapi lebih menekankan ke perasaan ngeri, sakit, pilu, sedih, dlsb.

Suatu malam, dia menceritakan padaku terkait kisah-kisah horornya. Sejujurnya, sejak kecil aku adalah seorang penakut. Rumahku di desa sana dekat dengan kuburan dan karena kamar mandi di luar, aku selalu meminta ditemani ibuku saat mau pipis, aku takut sendiri dan bertemu hantu. Meski setelah hampir sepuluh tahun merantau, aku sudah bisa menguasai ketakutanku sendiri. Meski sebenarnya ketakutan terbesar bukanlah ketakutan terkait hantu, tapi ketakutan-ketakutan lain yang dikarenakan hubungan manusia dengan manusia.

Beberapa kisah horor yang dia ceritakan:

  • Salah naik bus pas SMP, kiri kananya kuburan China dan Islam. Hingga dia lari ketakutan, tak ada siapa-siapa, sampai pada akhirnya akang ojek menyelamatkan.
  • Petak umpet di kuburan saat masih SMP pas bareng-bareng. Karena gak ingin ditemukan, main curang dengan bersembunyi di kuburan karena gak akan dicari, haha.
  • Kisah cewek yang ngikutin di kampus, tiap pagi datang jam enam dan pulang setelah magrib. Hingga suatu hari si hantu nyekek lawan main teater Mas Yuki no Hana di kampus karena si hantu cemburu. Bau wangi yang kadang tercium, hal aneh di deretan tempat duduk kelas, perpustakaan dengan susunan duduk yang aneh.
  • Terkait rumah Mas Yuki no Hana yang horor, dia mengalami hal-hal mistis dari gitar yang bisa muter dan jatuh sendiri; stick PES yang bisa main sendiri; cerita teman-teman yang nginep terus kayak ngigau dan kerasukan; mimpi beli jajan habis itu si ibu membelikan jajan yang persis seperti dalam mimpi; hingga kena jackpot saat nonton reality show horror.

Lalu kisah horor lain yang kudengarkan di Podcast, yang kuanggap ini adalah kisah pribadinya:

  • Adik (maaf) autis, mendengar cerita ini aku terharu dan ingin menangis. Aku merasakan sekali kemarahan dia saat banyak teman mengumpat dengan ejekan “autis” sesuka jidat mereka. Aku terbayang wajah malaikat sang ibu yang membesarkan. Ibu dia yang juga guru Bahasa Jerman. Di sisi lain, aku teringat dengan lagu Dee Lestari yang berjudul “Malaikat Juga Tahu”. Aku beberapa kali bertemu dengan anak-anak spesial semacam adik Mas Yuki no Hana ini, pertemuan terakhirku dengan mereka saat aku berkunjung ke rumah temanku di Garut, dan tak tahu, aku dan anak itu bisa berkomunikasi dengan baik. Saat aku pergi, dia menjabat tanganku erat, sedih tak ingin melihatku pergi. Dan ada pernyataan yang membuatku terpekur lama darinya: Andai dia, Mamah, Papah, adik perempuannya tak ada, bagaimana nasib adik spesialnya itu? Mendengar pernyataan ini, aku langsung berkaca-kaca.
  • Kisah mistis terkait penampakan kepala di kolong meja, dengan wajah hangus sebelah, jam kerja di shift setan, juga suara-suara hantu. Malam itu Mas Yuki no Hana berjaga sendirian.
  • Mimpinya dengan mantannya yang dia panggil “almarhumah”. Saat itu mereka berjalan berdua, hendak makan malam tapi jalan jauh. Mas Yuki no Hana diminta almarhumah untuk mengambil motor saja, tapi sampainya di parkiran, motor tak bisa lewat karena dikepung mobil. Hingga Mas Yuki no Hana ingin mengangkatnya, tapi saat akan diangkat dia bangun. Ternyata itu mimpi, aku terharu mendengar cerita itu, begitu beruntungnya almarhumah. Dan setelahnya Mas Yuki no Hana berkunjung ke makam almarhumah dengan baju terbaiknya. Dia ingin terlihat baik di depan almarhumah.

Cerita terkait jurusan dan Sastra Jepang. Dia lulus selama tujuh tahun, skripsi dia kerjakan hanya dalam waktu dua minggu. Saat teman-temannya yang lain bahas karya-karya babon Jepang macam “Taiko” karya Eiji Yoshikawa, atau penulis-penulis berat lain; bab yang dia bahas dalam skripsi adalah buku cerita anak-anak berbahasa Jepang yang ceritanya tidak banyak diketahui. Dalam buku itu Mas Yuki No. Hana mengerti semua isi yang ada dalamnya.

Saat sidang, terjadi banyak hal menggelikan. Dari jilid skripsi yang tak dijilid karena jilid di fotocopy habis, lalu dimarahi salah satu dosen. Meski pas sidang Mas Yuki no Hana telah menjilid rapi untuk semua dosen. Pas sidang, saat teman yang lain hanya menghafal judul, tapi tak terlalu menghafal isi; Mas Yuki no Hana sebaliknya, dia lupa judul skripsinya apa, tapi ingat semua dengan isinya. Termasuk dengan kata-kata Jepang, saat dia tak tahu artinya, dia akan mengartikannya dengan jalan memutar hingga merujuk pada pengertian itu. Misal kayak, kamu akan mengartikan ‘kursi’, maka kamu mengartikannya dengan tempat duduk empat kaki yang terbuat dari kayu.

Salah satu penguji sidang adalah dosen perempuan yang marah-marah karena jilid tak rapi Mas Yuki no Hana. Jika biasanya sidang hanya ditanya sebanyak dua sampai tiga pertanyaan, Mas Yuki no Hana saat itu mendapat 15 pertanyaan! Dia juga sengaja memasang “pertanyaan jebakan” agar si dosen bertanya, dan dari jebakan-jebakan pertanyaannya itu, si dosen kena semua, hahahaha, kocak. Kok ya kepikiran toohh….

Hingga di akhir sidang, Mas Yuki no Hana mendapat nilai yang memuaskan. Meski nilai IPK-nya di bawah standar karena dia tak mau mark up nilai dengan mengulang, akhirnya kesempatan untuk mendapat beasiswa dll dia pendam. Saat beberapa temannya sudah ke Jepang, sampai yang lebih bodoh dari dia pun lebih baik nasibnya, dia merasa, ya sudahlah.

Juga kisah mantan pacar-pacarnya, yang paling berkesan bagiku selain cerita terdalamnya dengan almarhumah adalah pacarnya yang dia beri nama “Susuk”. Haha, aku tertawa lepas saat dia memberi nama itu. Bukan tanpa alasan, mantan yang menyelingkuhi Mas Yuki no Hana ini menggunakan susuk dan seingatku hampir sebulanan dia sering kerasukan, sampai Mas Yuki no Hana merasa lelah. Juga kerugiaan-kerugian lain yang dia alami akibat Mbak Susuk yang membawa kabur laptop, membuat Mas Yuki no Hana kehilangan file-file skripsi, berhutang pada teman untuk Mbak Susuk, dlsb. Dan sedihnya, hingga sekarang Mbak Susuk itu masih mengganggu Mas Yuki no Hana.

Aku juga terpukau dengan cerita kenakalan-kenakalan masa remajanya hingga dosa terbesar yang pernah dia lakukan. Dari mabuk, obat-obatan, njamur, clubing, kehidupan malam, kehidupan bebas yang melanggar aturan, dll. Jika sempat, aku ingin menulis kisah ini dalam bab tersendiri. Aku merasa menjadi orang terpilih karena bisa mendengarkannya langsung darinya.

Hal terdalam lain yang benar-benar mengubah pandanganku adalah hubunganku dengan Tuhanku jadi semakin lebih baik berkat penjelasan-penjelasannya. Kami paham, kami bukanlah orang suci yang tahu banyak tentang agama, tapi kupikir, penjelasan dia terkait karma, surga-neraka, sholat, kerudung, Al-Quran, surat-surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Falaq, menyentuh inti yang kucari terkait Tuhan. Aku rasanya telah mencari Tuhan kemana-mana, dari gereja, Goa Maria, kelenteng, kelenteng, pura, sampai ikut misa pun pernah. Berkat penjelasannya aku jadi menemukan jalan lurusku lagi, yang coba kubangun usai membaca dan mempelajari lagi Surat Al-Fatihah.

Ada hal aneh lain yang ingin kuceritakan, sebelum aku kenal Mas Yuki no Hana, beberapa hari sebelumnya aku hendak les bahasa Jepang di Evergreen Pasar Baru, Jakarta Pusat. Les Jepang yang ingin kuikuti setelah aku mengikuti les bahasa Inggris. Sebab tiba-tiba aku punya keinginan untuk belajar bahasa-bahasa Asia: Jepang, Mandarin, Korea, dan Arab. Seru kali ya kalau bisa bahasa-bahasa ini, haha.

Lainnya, Mas Yuki no Hana secara fisik dan latar belakang mengingatkanku dengan seorang kawan. Mereka menurutku sama-sama jenius, mereka sama-sama berhubungan dengan Jepang (satu di Sastra Jepang; satu kuliah sarjana, master, dan postdoc di Jepang), mereka sama-sama memiliki adik (maaf) autis, mereka sama-sama anak pertama, mereka sama-sama pintar menulis, dan wajah mereka sekilas hampir mirip.

Hari ini, 3.706 kilometer jarak memisahkan aku dan dia. Aku ingat dia pernah bercerita terkait pengalaman kerjanya di Papua. Aku kagum dengan prinsip hidup yang dia katakan yang kira-kira berbunyi: “Aku kalau dikasi kerjaan akan aku tekuni dan sungguh-sungguh.” Waktu itu dia bekerja di bidang keuangan, semacam menjadi asisten akuntansi, tapi lingkungan tempat kerjanya bukanlah dia banget. Gajinya juga kecil hingga hasil tabunganmu habis untuk beli tiket pesawat dari Papua ke Jawa. Dia juga menceritakan padaku terkait karakter (sebagian) orang Papua yang penakut dan mencari aman sendiri, sampai dia bercanda sambil mengumpat, “Anjir! Ya gak gitu dong konsepnya!”

Sekitar lima jam perjalanan penerbangan dari Bandara Soetta ke Bandara Sentani kupergunakan seluruhnya untuk menghafal lagu Yuki no Hana dari recorder suaranya yang dia kirim melalui Telegram. Lalu berlanjut transit dari Bandara Sentani ke Bandara Tanah Merah di Boven Digoel, dan transit lagi dari Bandara Tanah Merah ke Bandara Mopah di Merauke, lagu Yuki no Hana dan suaranya terus menemaniku.

Mimpiku: “Mas, jika kamu baca ini, aku tahu aku tak secantik Ailee apalagi Aura Kasih, atau artis-artis favoritmu, atau almarhumah, atau Mbak Susuk, atau mantan-mantanmu yang lain, atau siapalah, haha. Kau mengajariku untuk tidak berharap pada manusia kan? Itu yang kulakukan, termasuk tidak berharap menjadi orang lain atau berharap padamu. Tapi keinginanku cuma satu, ajak aku karaokean bareng nyanyi Yuki no Hana dari Mika Nakashima. Itu saja. Selebihnya tentangmu dan tentang-tentang lainnya aku serahkan ke Tuhan. Terima kasih Mas, terima kasih, terima kasih.”

Aku juga ingin bilang juga, “Mas, kamu punya bakat nulis dan imajinasi yang tinggi, dan aku yakin jika itu kau kembangkan dan terus menerus kau latih, itu akan menjadi kemampuan baik yang akan menyelamatkanmu untuk hidup. Bakat itu adalah kado Tuhan yang sudah selayaknya kamu maksimalkan. Meski aku belum membaca sampai akhir novelmu terkait petualangan pekerja kantor urban yang tersesat di tempat aneh, membaca ceritamu, imajinasiku hidup. Dari kecil kau suka menggambar dan berimajinasi kan, teruskan. Itu adalah legasimu.”

Mengakhiri tulisan ini… tulisan ini adalah tanda persahabatanku buat Mas Yuki no Hana, aku tak begitu berpikir, dia nantinya akan hidup bagaimana atau seperti apa, cuma dengan tulisan ini rasanya aku bisa membalas hal-hal baik yang dia bagikan, berikan, dan tularkan. O iya, tadi sore di Merauke turun hujan, sebagaimana passion seorang pluviophile, aku cukup menikmati suasana itu. Dan kubayangkan yang berterbangan dan jatuh dari langit ke tanah bukanlah air, tapi bunga salju, ya Yuki no Hana yang jatuh di Papua….

舞い落ちてきた雪の華が
窓の外ずっと
降りやむことを知らずに
僕らの街を染める
誰かのために何かを
したいと思えるのが
愛ということを知った

もし、君を失ったとしたなら
星になって君を照らすだろう
笑顔も涙に濡れてる夜も
いつもいつでもそばにいるよ

Merauke, 3-4 Oktober 2022

20.31 – 07.29 WIT

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai