Perjalanan ke Dieng, Negeri di Atas Awan

Jumat, 2 Juni 2023

“Aku seneng jadi orang yang gak eman untuk beli pengalaman dan hiburan, karena tak semua orang selegowo itu.”

Pemikiran itu tiba-tiba saja hadir saat saya naik bus dari Purwokerto menuju Dieng. Pengalaman 4 hari libur (1-4 Juni 2023) benar-benar saya manfaatkan untuk mengisi energi spiritual yang longsor drastis entah kemana. Entahlah, frekuensi waktu di tahun 2023 yang telah habis setengahnya ini, saya lalui dengan kehilangan banyak minat, terutama untuk melakukan apa yang saya suka. Mungkin iya jika dalam psikologi ada teori yang mengatakan, kehilangan minat adalah ciri orang yang sangat lelah secara batin.

Seperti biasa, saya berangkat sendiri, saya naik kereta Serayu dari Stasiun Pasar Senen ke Stasiun Purwokerto pada Kamis malam pukul 20.10 WIB. Tarif Go-Jek kos ke stasiun sebesar Rp19.500. Kereta Serayu sangat murah, Rp67.000 sekali jalan dan saya memesannya pulang-pergi (PP) sekitar dua minggu sebelum hari H.

Malam itu, saya masih ingat, sebab kondisi batin yang sangat lelah, sambil duduk tegak, kaki menekuk karena ruang duduk antar-penumpang yang diberikan terlalu kecil; membuat badan saya terasa linu. Entah faktor usia atau entah apa, sekarang saya mulai paham, umur 30 tahun ternyata badanku tak bisa se-fit dulu, atau kuat naik kereta 11 jam lebih, sekarang sudah sangat capai rasanya. Haha. Ya, apalagi saya jarang olahraga.

Museum BRI Purwokerto

Pukul 06.44 WIB, hari Jumat, saya sampai di Stasiun Purwokerto. Stasiun berukuran sedang, tata letaknya tak jauh beda dengan Stasiun Cepu, ketika keluar langsung ketemu jalan; meski jalan raya di Purwokerto lebih luas. Lalu saya berjalan menuju pusat kota, tujuanku adalah alun-alun. Di tengah jalan, saya mendapat pesan dari pimpinan saya di kantor untuk merekap link berita terkait kegiatan Dirjen. Lalu saya berhenti di Museum BRI Purwokerto di Jalan Jend. Sudirman No. 57 Purwokerto. Di sana saya ambil uang di ATM dan rekap link di teras museum. Sebab saya datang masih terlalu pagi, museum belum dibuka padahal saya ingin sekali masuk ke dalamnya. Mas satpam mengingatkan agar saya kembali lagi pukul 09.00 WIB. Saya hanya bilang, “Iya,” dengan nada tidak yakin.

Usai dari Museum BRI, saya melanjutkan perjalanan menuju Masjid Agung Baitussalam. Tubuh saya rasanya benar-benar ingin roboh, yang saya inginkan hanya tidur, meletakkan badan dan tak berpikir apa-apa. Di masjid saya cuci muka dan solat subuh yang telat. Masjid saat itu dalam kondisi akan dibersihkan karena hari Jumat, saya yang ingin meletakkan badan merasa tak enak untuk istirahat lama di masjid. Padahal baterai hape saya juga hampir habis, tapi saya bertahan sekitar 30 menit untuk mengisi baterai seenggaknya 30-40an persen.

Setelah dari masjid, melihat alun-alun sekilas, yang ternyata tak seluas yang saya bayangkan–ya, saya selalu membayangkan kalau alun-alun itu seluas Alun-Alun Bojonegoro, tempat yang sering keluarga kami kunjungi. Alun-alun di Purwokerto pagi itu masih sepi. Kemudian, saya memesan Go-Jek menuju Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, aneh ya, kenapa saya harus main ke sini? Kenapa ke tempat yang ada unsur pendidikannya? Barangkali panggilan hati saya memang tak jauh dari dunia akademi, sekolah, dan belajar.

Unsoed

Di Unsoed, pertama saya sampai di sebuah gedung pertemuan, Graha Widyatama, ternyata ini gedung buat acara dan nikahan. Lalu abang Go-Jeknya membawa saya ke lingkup rektorat. Saya turun di dekat sana. Lalu saya jalan-jalan sekilas ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Hukum, Gedung Laskar Arsip Soedirman, UPT Perpustakaan, Literacy Park, dan kembali lagi ke gedung masuk Unsoed. Kala itu universitas sepi, hanya terlihat beberapa mahasiswa yang mencari wi-fi di sekitar kampus dengan laptop menyala, dan beberapa aktivis yang barangkali ada masih ada kegiatan.

Perpustakaan Unsoed

Di Unsoed, saya mengenal seorang dosen di FISIP, namanya Mas Wiman Rizkidarajat, kakaknya Mas Irfan R. Darajat. Mas Wiman sempat ngomen story IG saya ketika saya upload gambar main di Unsoed. Kapan-kapan semoga saya punya waktu bisa main ke Purwokerto lagi, atau mengunjungi kediaman Mas Wiman dan keluarga untuk sekadar menjalin silaturahmi. Saya menganggap Mas Wiman seperti halnya Mas Irfan, kakak jauh saya, haha. Duh, maaf ya ngaku-ngaku.

Di depan Unsoed, saya butuh sarapan meski tak begitu lapar. Pagi itu saya ingin membeli empal krecek dengan telur seharga Rp15.000 dengan tambahan es teh. Sayur ini mirip apa ya, sejenis sayur krecek khas Jogja, tapi gak ada empalnya. Tapi tetap enak, mungkin kebetulan karena saya kangen dengan krecek gudeg Jogja. Usai itu, saya beli air putih dan buku BigBoss di minimarket di samping penjual empal krecek tersebut.

Lalu saya kebingungan akan kemana, saya dari tadi melakukan pengecekan webiste booking hotel, dan rata-rata mengizinkan check-in pukul 13.00-14.00 siang, padahal sekarang baru pukul sekitar 09.00 WIB. Akhirnya saya melihat ulang itinenary yang saya susun dua hari sebelum ke Purwokerto. Ada beberapa tempat yang menjadi tujuan liburan saya.

Taman Mas Kemambang
Yakult Teh dan Mendoan

Akhirnya, saya memutuskan pergi ke Taman Mas Kemambang dengan tarif Go-Jek Rp11.500. Tiket untuk masuk sebesar Rp15.000 (karena saya datang saat libur, normal Rp10.000). Di taman ini ada semacam kolam/danau buatan besar yang berisi ikan-ikan. Banyak tanaman dan bunga hias, lalu rumah buatan khas luar negeri, air mancur, joglo-joglo untuk berteduh, taman bermain anak, rumah penginapan yang unik, dan aneka tempat ngaso lainnya. Di sini, akhirnya saya berkesempatan untuk merebahkan tubuh saya yang rasanya sangat lelah. Saya tidur di salah satu anjungan joglo hingga dzuhur, jam 12-an siang. Meski tak lama saya tidur, tapi sudah cukup untuk mengurangi rasa lelah yang bergelantungan di pundak saya.

Penginapan Mas Kemambang

Usai itu, saya langsung booking penginapan Melati dekat Unsoed. Nama penginapannya RedDoorz Syariah near Unsoed yang semalamnya sekitar Rp131.226 dan waktu check-in jam 2 siang. Sambil menunggu waktu, saya habiskan waktu jalan-jalan di Taman Mas Kemambang, saya juga beli Yakult Teh seharga Rp10.000 dan mendoan anget empat biji seharga Rp10.000. Saat waktu hampir jam 2 tepat, saya pesan Go-Jek tarif Rp12.000 menuju hotel. Namun, saya salah hotel, karena di Go-Jek tidak jelas; ada Jalan Bougenville dan Jalan Anggrek bersamaan. Dan akhirnya, saya harus berjalan sekitar 1,4 kilometer untuk menuju tempat yang tepat. Lelah ya, tapi ya bagaimana lagi? Di perjalanan saya melewati FISIP Unsoed. Hotel itu ternyata tak jauh dari Graha Widyatama Prof. Rubijanto Misman Unsoed.

Graha Widyatama

Sampai hotel, saya langsung mandi, istirahat lama, merefleksikan sebentar hidup saya, dan malamnya saya keluar untuk beli makan seblak spesial Purwokerto, kalau gak salah habis Rp20.000. Saya tahu, sebenarnya saya tak begitu menyukai seblak, tapi tetap saya paksa mencobanya karena ingin merasakan rasa orisinal dari seblak seperti apa, ya, dengan bumbu kencurnya itu, seblak seporsi pun saya tak habis. Entah kenapa masih begitu pedas dan panas di mulut saya. Usai makan saya menuju kos jalan kaki, saya mengambil pelajaran berharga: “kamu tahu kamu ga begitu suka, tapi tetap kamu paksain. Akibatnya, kamu gak habis.” You get the point in another cases.

Seblak Dower

Pukul 21.00 WIB, ada pertemuan perdana klub baca buku bareng Ofek dkk terkait buku “The SAGE Handbook of Marxism”. Ya, demi apa pun, saya masih butuh wadah untuk melecut diri sendiri untuk terus belajar.

Sabtu, 3 Juni 2023

Saya bangun lumayan pagi untuk berolahraga sekitar 40 menit, saya berkeliling jalanan di sekitar hotel, beli sarapan nasi uduk Rp7.000 dan beli buah apel di Indomaret sekitar Rp13.500. Kemudian saya mandi, makan, buat review klub buku Ofek dkk semalam dan mempostingnya di IG, kemudian memantau webinar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) yang diadakan setiap Sabtu jam 10 pagi. Kemudian nulis rilis dan check out dari hotel sekitar pukul 12 siang.

Lalu saya langsung menuju Terminal Bulupitu Purwokerto, sebelumnya saya membeli Loempia Bom Purwokerto isi jamur seharga Rp14.000, lalu Go-Jek ke terminal sebesar Rp18.000. Sampai di terminal, saya memutuskan untuk makan siang dengan loempia terlebih dahulu. Enak juga, ini loempia terbesar yang pernah saya coba.

Kemudian saya naik bus lokal jurusan Wonosobo dengan tarif Rp50.000. Ternyata jauh juga gaes, sekitar 3 jam, saya melewati Banjarnegara, Purbalingga, Pasar Mandiraja, Dusun Legok, Kaliwinasuh, Purwonegoro, Wanadadi, hingga Wonosobo sendiri ke arah menuju Dieng. Di tengah jalan ada quote menarik, “Ora kudu banter, sing penting sregep nyalip“.

Entahlah, di perjalanan saya merasa hidup ini begitu random. Kenapa bisa-bisanya saya tampai di tempat ini, menuju Dieng tapi tak tahu pasti tempat spesifik mana yang dituju, karena wisata Dieng ternyata sangat banyak. Ingin main ke rumah dosen pembimbing skripsi dulu, Pak Rachmad, tapi belum sempat menghubungi.

Setelah turun menuju suatu perempatan di dekat kelenteng, ada bapak ojek mendekati saya, dia bersedia mengantar saya ke pasar agar mudah mendapat bus dengan membayar Rp15.000, padahal jaraknya begitu dekat. Di pasar itu memang ada, tapi saya bertemu dengan bus yang sopirnya sangat cerewet dan mencereweti saya karena yang mau ke Dieng sore itu hanya saya. Dia bilang kalau nganterin saya saja, dia rugi, saya katanya juga rugi, saya datang terlalu sore karena sudah tak ada lagi bus yang mau kesana. Setelah deal-dealan, sopir bus mau mengantar kalau saya mau membayarnya Rp100.000. Harga normal Rp 20.000 pagi, dan Rp 25.000 kalau siang. Ya, akhirnya saya setuju. Jujur, dalam kondisi seperti itu, saya susah membuka diri saya. Ditanya dari mana, saya akan jawab dari Purwokerto. Saya takut dimanfaatkan di tempat baru. Kalau orang lain tahu saya dari Jakarta, mereka akan mempunyai ekspektasi lebih. Sejenis white lie ini sih, saya sadar.

Kawasan Dieng

Dari Wonosobo, perjalanan ke Titik Nol KM Dieng ternyata melewati jalanan yang begitu menantang. Ampun dah jalannya, meliuk-liuk, banyak, dingin, dan meski di map tak jauh, ternyata jadi terasa sangat jauh. Jika mendapat julukan “negeri di atas awan”, saya pikir ini bukanlah julukan yang hiperbolis. Setelah saya pikir-pikir, tarifnya memang setara. Di sepanjang perjalanan, saya seperti diajak ke dunia lain, benar-benar dunia lain yang belum pernah saya temui sebelumnya. Saya tiba di Dieng dekat kompleks Candi Arjuna saat Magrib menjelang. Ingin main ke candi tapi sudah tutup. Saya kemudian cari makan geprek untuk makan malam di Sonic Chicken seharga Rp16.000, di tempat itu saya bertemu dengan nasihat bijak dari Buya Hamka, “Supaya engkau mendapat sahabat, hendaklah diri engkau sendiri sanggup menyempurnakan menjadi sahabat orang.” Pesan itu rasa-rasanya benar ditujukan untuk saya, saya sedikit haru, pilu, dan sendu.

Vegetasi bunga di Dieng cantik banget

Lalu saya mencari penginapan. Saya baru tahu ternyata Pemda Dieng tak mengizinkan beroperasi hotel-hotel, yang diizinkan hanya homestay dari masyarakat sekitar. Lalu, karena saya tak ingin kebondrok, saya tetap cari penginapan melalui website. Saya menemukan penginaapan seharga Rp169.000 di Shinta House. Jika dibandingkan dengan seorang ibu di bus yang menawari saya penginapan seharga Rp300.000/malam, tentu ini harga yang lebih murah.

Nol KM Dieng

Dieng begitu dingin, tapi manusia masih tetap hangat dengan sesamanya, mereka banyak berkumpul menikmati waktu. Malam itu malam minggu, tak sedikit gempita di sekitar Nol KM. Dari musik live yang dihadirkan beberapa kafe, penjual makanan yang tak pernah ada habisnya. Keramaian yang dingin. Saat itu, bulan penuh, bentuknya lingkaran sempurna. Saya menuju homestay, istirahat, dan rasanya susah tidur. Waktu lalu saya pakai untuk menonton tontonan YouTube terkait Dieng, sejarah, dan pariwisata yang ada di sana. Sampai akhirnya tidur sendiri….

Minggu, 4 Juni 2023

Hari yang sibuk, terlebih pukul 06.30-09.30 WIB, tapi rasanya saya bisa memanfaatkan waktu untuk berkeliling wisata Dieng ke berbagai tempat sekaligus.

Cagar Budaya Candi Arjuna
Candi-Candi

Wisata pertama yang saya kunjungi adalah Kompleks Candi Arjuna. Biaya masuknya Rp20.000, tiket ini bisa diteruskan sampai ke Kawah Sikidang. Di candi, banyak sekali bunga cantik yang membuat perasaan bahagia, rasanya sangat senang, di sekitarnya ada latar pegunungan yang memberi ketenangan tersendiri. Satu-satunya yang saya kurang sreg di sini barangkali pintu keluarnya yang membingungkan, saya harus berputar terlebih dahulu untuk menemukan jalan keluar.

Setelah itu, saya menyewa jasa ojek Rp15.000 ke Kawah Sikidang. Kawah air panas yang di tanahnya pun keluar asap. Banyak sekali yang berkunjung di sini. Mendekati kawah, bau belerang begitu terasa. Salah satu cerita yang saya dengar, di kawah ini dulu legendanya tak lepas dari kisah kijang.

Suasana di Kawah Sikidang
Kawah Sikidang

Usai dari Kawah Sikidang, saya menuju Batu Pandang Ratapan Angin. Tiket masuk Rp15.000 dan ketika akan menuju Pohon Jodoh harus membayar Rp3.000. Sehari sebelum kesini, saat melihat legenda dari YouTube terkait wisata ini, sungguh sebuah kisah sedih. Seorang suami baik dikhianati, dan si suami juga ingin disingkirkan dengan menjatuhkannya dari atas batu, tapi yang jatuh malah si istri dan selingkuhannya. Saya belajar, kebaikan akan kembali pada kebaikan, seberapa pun jahat lingkungan di sekitaranya. Saya benar-benar kagum dengan kelapangan hati si suami. Dia tak memaksakan keadaan, jika bukan jodohnya, tak perlu dipaksa.

Alam Dieng
Batu Pandang Ratapan Angin
Pohon Jodoh
Beautiful

Batu Ratapan menjadi tempat yang menurut saya paling indah di antara beberapa tempat indah lain sebelumnya yang saya kunjungi. Dari puncak bukit ini, kita bisa benar-benar melihat keindahan Dieng. Saya bersyukur iklim saat itu cerah. Saya bisa menapaki tangganya satu per satu hingga berkunjung sebentar ke Dieng Plateau Theater, tempat nonton film tentang Dieng, meski gak ikut nonton hehe.

Dieng Plateau Theater

Berikutnya, saya berkunjung ke Telaga Warna, Batu Tulis, Goa Jaran, Goa Sumur, Goa Pengantin, Goa Semar, dan Telaga Pengilon. Tiket masuk Rp22.000. Tempat-tempat ini ada di satu kawasan wisata. Saya berdoa tulus di depan Batu Tulis, yang legendanya ketika ada anak kecil belum bisa membaca, ketika dibawa kesini jadi bisa membaca. Saya pun ingin seperti itu. Tak hanya itu, di sini juga ada patung Gadjah Mada, patih yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapa-nya. Secara imaginer, saya berdialog sebentar dengan beliau, sambil mengucapkan salam dan doa.

Patih Gajahmada
Batu Tulis

Goa Semar tak kalah legendarisnya. Konon di sini menjadi tempat semedi orang-orang besar, dari raja-raja Jawa hingga Gus Dur dan Soeharto, dan lain-lainnya. Semar yang katanya menjaga tanah Jawa. Di sana juga tertulis:

“Tokoh Semar merupakan simbol dan tokoh asli Jawa, Semar oleh pujangga Jawa digambarkan sebagai nenek moyang pendiri dan pengawal utama Pulau Jawa. Dalam keseharian tokoh Semar adalah perwujudan dari sifat aktif, bijaksana, sopan, tidak sombong, rendah hati, membenci ketidakadilan, mengawal kebenaran, dan melayani tanpa pamrih. Falsafah Semar mengajarkan ksatria untuk mendengar suara rakyat kecil sebagai suara Tuhan.”

Goa Semar

Perjalanan muter-muter satu tempat ke tempat lainnya saya tempuh dengan menggunakan ojek lokal, seluruhnya saya habis Rp65.000 untuk muter-muter di semua tempat ini. Dengan makan pagi dan jajan sebesar Rp34.000.

Karena saya harus mengejar waktu, perjalanan berlanjut ke Pasar Batur untuk berkunjung ke rumah dosen pembimbing skripsi saya, Pak Rachmad. Perjalanan kesana naik bus dengan tarif Rp10.000, sangat murah ya.

Saya dijemput istri Pak Rahmad yang bernama Mbak Rochmaniah di Pasar Batur, rumahnya tak begitu jauh. Di sana saya diberi banyak makanan, jajan, dan teh yang hangat. Juga makan siang dengan lodeh, obor, ikan bandeng, dan perkedel.

Di rumah Pak Rachmad di Desa Batur, Banjarnegara

Akhirnya hari ini salah satu niat saya sejak lulus kuliah untuk main ke rumah guru saya, di Desa Batur, lereng Dieng yang sejuk dan tenang ini terwujud, Pak Rachmad… Pembimbing skripsi saya yang sabar, yang dunia dan akhiratnya seimbang… Saya senang sekali bisa bertemu dua anak beliau yang lucu dan cerdas: Dek Fatimah dan Mas Ibrahim. Juga makasi untuk istri beliau atas segala bantuannya, juga ibu beliau yang telah memasakkan masakan yang enak. Terima kasih…. 🙏

Lalu, saya harus pulang dan mengejar kereta pukul 16.45 WIB ke Stasiun Purwokerto. Dengan bantuan Mas Romadhon, saudara Mbak Rochmaniah, akhirnya saya mendapat bus dari Karangkobar ke terminal Banjarnegara dengan tarif Rp15.000. Lanjut perjalanan bus dari Banjarnegara ke Purwokerto Rp40.000. Lalu tarif Go-Jek dari terminal ke stasiun sebesar Rp19.500.

Seluruhnya, setelah saya total-total, jumlah uang yang saya keluarkan untuk perjalanan ini kurang atau lebihnya adalah: Rp1.029.726 (all in one, dari tiket kereta, tarif wahana, transportasi, toilet, penginapan, makan, dan jajan).

Sepanjang perjalanan, saya ketar-ketir jika saya tak bisa mengejar waktu. Alhamdulillah, sampai di Stasiun Purwokerto 10 menit sebelum berangkat. Ya, setidaknya waktu bisa dikejar. Lalu perjalanan dari Purwokerto memakan waktu 11 jam. Cukup capek, tapi saya senang.

Mural di Unsoed: Beliebe, fight, win

Terima kasih Ya Allah, telah memberikan pengalaman berharga ini….

Ditulis di Jakarta, 7 Juni 2023

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai