Langit Lhokseumawe

Perjalanan menuju Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, bisa ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 4-5 jam dari Kota Banda Aceh atau dari Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda. Saya kebetulan dapat kesempatan berkunjung ke kota ini dari tanggal 15-18 Juni 2023 bersama kolega kerja saya untuk acara di Gedung Arun.

Pemandangan dari atas pesawat menuju Banda Aceh yang sangat indah.

Lhokseumawe adalah sebuah kota di Provinsi Aceh, bisa ditempuh sekitar 4-5 jam perjalanan dari Banda Aceh. Kota ini strategis karena menghubungkan Aceh dan Medan. Dulu, Lhokseumawe pernah dapat julukan Kota Petro Dolar karena pesatnya industri minyak/gas dan masa-masa kejayaan Mobil Oil pas di sini.

Di sini, kami menginap di Hotel Rajawali. Perabot interior di hotel ini unik, kamu bisa merasakannya saat memasuki lobi hotel. Ada berbagai macam guci dengan hiasan indah, dan saya pikir koleksi itu didapat dari berbagai tempat baik dalam dan luar negeri. Ada pula koleksi foto ketika tsunami Aceh, label-label “halal” dari banyak negara, hingga bentuk kursi dan dinding, rasa-rasanya ditata dengan arsitektur ruang yang dipikirkan.

Meja dan kursinya unik
Guci-guci di atas sana, lukisannya indah

Hotel ini tak jauh dari Pantai Jagu yang setiap sorenya banyak dikunjungi oleh pemuda dan masyarakat setempat untuk bersantai. Ketika sore pantai ini ramai, dengan anak-anak yang bermain sepak bola, dengan penjual kacang dan jagung, dengan penjual bakso bakar, dan makanan kaki lima lainnya berharga terjangkau.

Pantai Jagu

Ketika hendak berjalan menuju Pantai Jagu, saya melihat dan mengamati berbagai arsitektur kota dan bangunan. Kebiasaan ini saya dapat barangkali karena sering ikut jalan-jalan kota yang diadakan oleh Rame-Rame Jakarta. Keingat bagaimana menikmati arsitektur itu macam ritual yoga yang asyik untukku pribadi. Terlihat berbagai bangunan tua yang tak lekang usia, masih terpakai, dan saya penasaran dengan cerita di baliknya. Tak hanya itu, di lorong-lorong kota juga seperti memiliki misterinya sendiri. Mengingatkanku dengan lorong-lorong yang ada di Kotagede, Yogyakarta.

Gedung apa ini?
Rumah-rumahnya berarsitektur tua ya
Jalan menuju Pantai Jagu

Hal menarik yang saya perhatikan di Kota Lhokseumawe, Aceh: (1) semua perempuan dewasa berkerudung, kecuali mereka yang nonis seperti Chinese; (2) kebanyakan bank ada label “syariah”-nya, ini saya amati pas pengen narik uang dan cari ATM; (3) masjid didirikan dengan amat luhur sejak dari gerbang masuk; (4)gak ada gojek, alat transportasi terkenal di sini adalah bentor, becak motor; (5) gak ada Indomaret/Alfamart.

Gedung Pusat Keislaman gitu
Anak-anak belajar solat dan mengaji

Oiya, lainnya, pernah dengar legenda gadis bermata biru (bulek lamno) dari Aceh? Menurut penuturan salah satu penduduk setempat, mereka umumnya tinggal di desa, tak jauh dari Banda Aceh. Mereka keturunan orang Eropa yang datang ke Aceh.

Mayan kesulitan ngikutin bahasa Indonesianya orang Lhokseumawe yang logatnya cepat. Saya mesti konfirmasi beberapa kali maksudnya apa, haha. Jadi setiap Jumat, peraturan setempat mewajibkan toko-toko dan pekerjaan lain untuk tutup sementara dan solat.

Ada beberapa tempat yang sempat saya kunjungi pula. Ya, hitung-hitung memanfaatkan waktu yang sebentar, yang diberikan kesempatan dan Tuhan selama saya di sini. Seperti Museum Lhokseumawe yang ada di Jl. Teuku Hamzah Bendanara, samping Islamic Center Lhokseumawe pas. Pas datang kesini kebetulan ruang bagian atas masih tutup, jadi belum bisa masuk. Hanya bisa mengamati bagian luarnya aja.

Museum Lhokseumawe

Di sekitar museum itu ada macam prasasti koin teluk samawi atau Koin Keuh Aceh Teluk Samawi, sebagai bukti alat tukar dan transaksi yang digunakan di kawasan Teluk Samawi. Ada juga replika “jeungki” yang merupakan alat penumbuk tradisional di Aceh. Alat ini tak bisa dilepaskan dari kehidupan petani untuk menumbuk kopi, sagu, emping, beras, tepung, kelapa, dll.

Kalau di Jawa ini namanya lumpang
Di tempat ini bisa-bisanya nemu kembang yang ada biji ceplukan untuk mainan ini haha

Perjalanan selanjutnya ke Waduk Kota Lhokseumawe. Kata abang bentor yang nemeni saya, tempat ini ramai kalau sore. Indah juga, langitnya di sini sumpah cantik banget. Jadi ada jalan yang ketika di tengahnya seperti diapit oleh dua perairan sekaligus: laut dan danau. IH, keren tahu, di sini sejenak saya merasa bebas.

Langitnya cantik kan
Enak buat ngalamun
Waduk Kota Lhokseumawe

Lalu, abang bentornya mengajak saya untuk menuju Pantai Ujong Blang, yang terkenal bagi masyarakat sekitar. Area pantai ini memanjang, dan keunikannya ada batu-batu besar di sampingnya, juga rumah, kafe, dan tempat-tempat jualan. Saya perhatikan pula ada bangunan bekas diskotik yang sudah rusak, dinding tak ada, tinggal kerangka saja yang mangkrak. Saya tak tahu pasti ceritanya, tapi menurut kabar dari abang bentor, dulu karena masyarakat tak setuju dengan adanya diskotik itu–karena Islam di sini sangat kuat.

Pesisir Pantai Ujong Blang
Pantai Ujong Blang

Saya juga bertanya terkait kewajiban berkerudung di sini, memang kalau Islam wajib, yang enggak pakai akan malu sendiri atau dianggap dia bukan bagian dari Islam. Kami juga mengobrol terkait pemilu, bagaimana dulu Prabowo menang 75% di Aceh daripada Jokowi. Atau SBY yang menang sampai lebih dari 90%.

Apalagi yang khas di Aceh kalau bukan kopinya, tapi karena saya bukan pecinta kopi dan tak berniat mencoba kopi dari berbagai macam daerah, maka yang suka adalah kolega saya. Dia antusias menikmati kafe di sini, dan kata dia kopi di sini rata-rata enak, meski harganya hanya Rp10.000.

Pecinta kopi mesti ngrasain kopi Aceh sih

Dan, apalagi yang tak kalah absurd semacam menemukan suasana khas Wes Anderson di Lhokseumawe. Sebuah kamar kecil umum yang berwarna orange muda kecoklatan, di palet saya tak tahu persis apa warnanya. Namun begitu cocok dengan warna bunga kertas dan ada sofa lusuh di depannya. Entahlah, moment dan furniture yang khas.

Wes Anderson’s moment
Durian Lhokseumawe

Oiya, Lhokseumawe kaya dengan buah, dari durian, salak, jeruk, semangka, melon, pisang, dll. Tapi rasa buah di Lhokseumawe ntah kenapa lebih kerasa buahnya, daripada di Jakarta yang kadang hambar gitu. Ya, soalnya di kota udah banyak buah impor yang meski cakep kingis-kingis, berkilau kek ubin mesjid tapi gak bikin saya bisa ngabisin karena rasanya malah gak ada, teksturnya juga artifisial. Tapi di Lhokseumawe, kek kamu bisa nemu intisarinya buah. Kemarin saya makan sepotong nanas, dan rasanya “nanas” banget. Saya gabisa deskripsiin rasa nanas yang nanas banget, macam nyes nan sour melted di mulut. Itu keknya nanas terbaik yang pernah kucoba.

Depan Masjid Baitturahman

Gambar ini saya ambil di depan Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Pas di depan masjid ada penjual makanan menggunakan bendera Malaysia untuk menghalau panas. Entah itu yang jual orang Malaysia atau dia cuma punya bendera itu untuk nutup kios berjalannya dari terik matahari yang sepanas mulut tetangga, cuma simbol yang dibawa tuh bendera terlalu gimana gitu. Sebab di sekitar situ kan markas Kodam Iskandar Muda, agak jijay ngatainnya tapi ya, “gak bahaya ta?”

Pengen kokoh seperti Masjid Baitturahman meski tsunami hidup menerpa
A city icon of Banda Aceh

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai